Selasa, 06 Maret 2012

Gaji Minim, Peneliti Indonesia Menjadi Incaran Negara Lain


Sumber Ilustrasi : Google
KBR68H - Nasib peneliti di Indonesia memprihatinkan. Tidak sedikit mereka yang memilih bekerja menjadi peneliti di luar negeri. Bahkan, sejumlah negara tidak segan mengincar dan mengiming-imingi peneliti muda Indonesia dengan berbagai fasilitas, tempat riset yang memadai, dan gaji besar. Intinya agar peneliti Indonesia mau bekerja di sana. Mengapa peneliti Indonesia seperti tak dianggap di rumah sendiri?
Usai menempuh pendidikan di Universitas Leeds, Inggris, peneliti asal Universitas Indonesia, Yulianto Sulistyo Nugroho mengaku sempat kaget melihat keadaan transportasi di Indonesia carut marut. Kenyamanan tinggal di negeri orang, dan kondisi yang berbanding terbalik di negeri sendiri, kata dia, bisa menjadi salah satu penghambat pulangnya peneliti asal Indonesia setelah menempuh pendidikan di luar negeri.
“Saya biasa kalau naek bis itu, naek kendaraan umum itu semuanya sudah nyaman. Begitu pulang ke Indonesia, nyebrang saja takut. Itu kan satu contoh. Terus kemudian anak-anaknya sudah besar, dia untuk kembali, gimana pendidikannya gitu. Itu kan aspek sosial yang lain di luar konteks kesejahteraan.”
Kondisi ini, semakin diperparah oleh minimnya perhatian Pemerintah Indonesia terhadap anak-anak cerdas bangsa, termasuk peneliti. Selain tidak mendapat fasilitas penelitian yang memadai, gaji peneliti juga bisa dibilang sangat rendah. Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Endang Sukara mengatakan, gaji seorang profesor riset di Indonesia hanya sebesar Rp. 5 juta per bulan. Sedangkan, jika mereka bekerja di luar negeri semisal di negara tetanggga Malyasia, peneliti Indonesia bisa mendapat hampir sepuluh kali lipat.
“Itu gaji pokoknya kalau 4e sudah mentok di ujung kanan bawah tiga koma, ditambah tunjangan fungsional peneliti, profesor riset satu koma berapa. Paling hebat 5 jutaan, 5,2. (Di Malaysia?) Saya kira minimal Rp. 40 an juta. Tetapi kalau di Amerika dan Australia, itu $10 ribu atau sekitar Rp.80-90 juta perbulan.”
Pemerintah mengakui minimnya tingkat kesejahteraan peneliti di Indonesia. Namun, Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim mengklaim, dengan adanya Undang-undang Guru dan Dosen, tingkat kesejahteraan peneliti yang berasal dari perguruan tinggi sudah lebih baik.
“Kalau yang dosen mungkin tidak banyak. Kalaupun itu terjadi, itu yang sebelum Undang-undang guru dan dosen diberlakukan. Dengan Undang-undang guru dan dosen yang sekarang, tingkat kesejahteraan dosen itu sudah memadai. Kalau mau kaya memang ngga bisa lah, tetapi basicnya cukup. Ada juga dosen-dosen di Andalas, memang ada dosen kita yang memang pergi sekolah dan tidak pulang. Saya bilang kepada mereka, Anda bersabarlah. Ngga mungkin langsung, begitu anda pulang bisa langsung hidup sejahtera.”
Menurut Rektor Universitas Indonesia, Gumilar Rusliwa Somantri, pemerintah harus memperbaiki kesejahteraan peneliti, sehingga dapat memberi kontribusi positif bagi pembangunan di Indonesia.
“Saya kira yang perlu dipahami di sini adalah kesejahteraan mereka harus diperbaiki dan tugas pemerintahlah untuk melakukan perbaikan kesejahteraan itu melalui peningkatan anggaran riset dan diharapkan kita mempunyai anggaran riset sekitar 2-3 persen dari PDB yang sekarang masih nol koma dan itu masih terlalu kecil”
Pemerintah menjanjikan akan selalu menaikan anggaran riset penelitian yang saat ini hanya sebesar 0,01 persen dari totap produk domestik bruto PDB. Akankah itu terwujud? Ataukah negeri ini harus terus menyaksikan hasil karya anak bangsa yang bekerja di luar negeri?

Tidak ada komentar: